Menyambut Hari Nelayan Nasional 6 April 2013

Gaung Hari Nelayan setiap 6 April masih terdengar senyap, sesunyi perhatian negara terhadap nasib kaum nelayan. Sekian kalinya Hari Nelayan Nasional diperingati setiap tahun, selama itu pula nasib nelayan tak beranjak membaik.

Aksi Menyambut Hari Nelayan

sumber daya laut yang melimpah namun nasib nelayan kita belum sepenuhnya sejahtera" hanya sepenggal kalimat yang membuat puluhan mahasiswa dari Senat Mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin turun ke jalan melakukan aksi unjuk rasa di bawah terik matahari depan pintu I Kampus Unhas.

In Memoriam Recky Gloria Randabunga

Hampir seluruh mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin berpakaian hitam ke kampus Jumat 12 April 2013. tepat 1 tahun kepergian saudara kami "Recky Gloria Randabunga". .

Bermula di hampir 'NOL'

Perjalanan kelembagaan dalam kesehariannya adalah sebuah bentuk siklus tanggung jawab yang terus berputar dari awal sampai akhir dan kembali lagi ke alwal yang tentunya berdasarkan amanah konstitusi.

Cukur Bawah Laut Pertama di Indonesia

Minggu 13 januari 2013 tepatnya di perairan tanjung Bira kabupaten Bulukumba, Senat mahasiswa kelautan Universitas Hasanuddin bekerja sama Anda dive center, PNPM Parawisata Desa bira dan Marine Science diving Club Universitas Hasanuddin melaksanakan kegiatan unik yang tidak pernah dilaksankan di Indonesia.

Wednesday 9 October 2013

Senat dan angka 22


Angka itu sering terselip di antara kata Ombak, Kla atau bahkan Kelautan. Mulanya saya tak ambil pusing, namun seiring berjalannya waktu dan dinamika di tubuh Kema Kelautan, kebenaran itu pun datang. Status Kema (keluarga mahasiswa) sungguh menjadi hal yang sakral, itu kata senior-seniorku terdahulu. Tak hanya di Kelautan, bahkan di semua Jurusan/Fakultas di Unhas. Proses menuju ke sana pun didekorasi sedemikian rupa. Bak ekstrakurikuler, mahasiswa baru pun mesti berbagi waktu kuliah atau meninggalkannya sama sekali.

Di sela diskusi sore nan melelahkan atau bahkan pada acara pengenalan lembaga, makna angka tersebut akhirnya terungkap. Di benak beberapa kawan senasib, sepenanggungan & seangkatan mungkin menjadi sebuah pemuas dahaga akan tanya selama ini. Walau ada juga yang tak pernah pusing & hanya berpikir kapan saya akan pulang ke kost. Menceritakan sebuah sejarah memang mengasikkan, apalagi ke pada mahasiswa baru. Dengan semangat 45, para senior seakan tahu cara menyampaikannya. Dulu kami begini, dulu kami begitu, ujarnya sambil berapi-api. Saat itu sekitar tahun 2009-2010.

5 Oktober 2013 menjadi tonggak permainan angka tersebut. SEMA Kelautan UH yang lahir pada 5 Oktober 1991 ber-22 tahun pada Sabtu kemarin. Sungguh sebuah hal yang sangat membanggakan ketika menjadi saksi hidup peringatan tersebut, apalagi mendapatkan pengantar jauh sebelumnya (3-4 tahun lalu). Lalu ada apa dengan angka 22 tersebut.

Jurusan, bahkan ada yang mengatakan Prodi Ilmu & teknologi Kelautan mendapat “nomor punggung” 22 oleh pihak kampus. Dalam hal ini menjadi yang ke-22 dalam hal pembentukannya. Bahkan identitas itu tertuang dalam nomor induk mahasiswa kelautan. Walau sekarang telah menggunakan kode huruf “L” di depan angka. Mesti begitu, penghargaan akan dua angka tersebut masih ada & insya Allah akan tetap ada. Coba saja rasakan satu setnya anak kelautan. Set atau hukuman berupa push up selalu berkelipatan 22. Kan lumayan kalau dapat 5 set sekaligus.

Di umur yang telah memasuki kategori dewasa ini, goncangan ombak masih tetap ada seperti dahulu kala.  Kepentingan demi kepentingan dari luar bahkan oknum internal sendiri seakan tak malu lagi menunjukkan boroknya. Pertarungan jabatan hingga sentimen pribadi nan menjijikkan tetap jadi santapan yang tersaji hampir tiap hari. Dan sampai sekarang saya sendiri masih bingung mengapa ada orang/kelompok atau institusi yang selalu sakit gigi terhadap eksistensi & esensi kami. Biarlah kami tetap berprinsip bahwa dari, oleh dan untuk mahasiswa, itulah lembaga kemahasiswaan.

Ink


Friday 23 August 2013

BAJUBI DI NUSA UTARA INDONESIA

oleh : Hastuti (Mahasiswa Kelautan Angkatan 2010)


Dari Miangas ke Pulau Rote..
Isitlah itu pasti sering kita dengar. Di Belahan Utara Indonesia, ada Kepulauan Sangihe dan Talaud yang sekarang digagas untuk menjadi provinsi baru yaitu Provinsi Nusa Utara. Salah satu pulau terdepan yang berbatasan dengan Philipnia dari kepulauan ini yaitu Pulau Miangas, ternyata menyimpan banyak keunikan-keunikan yang mungkin belum pernah kita dengar.

Kalau di Makassar ada penyelam teripang, di Miangas pun ada. Bedanya, di Pulau Miangas dikenal dengan Bajubi. Disebut bajubi karena bahasa Miangas tembak adalah jubi. Jadi, kalau menangkap ikan dengan menggunakan jubi maka disebut bajubi.

Bajubi di Pulau Miangas dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan kompresor dan tanpa kompresor. Kompresor yang digunakan sama dengan kompresor yang biasa dipakai di bengkel.  Sebelum digunakan, kompresor dicuci dengan sprite kemudian diberi pelumas dari boka (minyak kelapa). Minyak kelapa ini merupakan pengganti oli karena minyak kelapa lebih kurang pengaruhnya dalam tubuh dibandingkan dengan oli.

Alat lain yang digunakan dalam bajubi yaitu tembak(jubi), masker/kacamata renang, fins, dan senter. Jubi di Pulau Miangas sama dengan tembak ikan pada umumnya, hanya saja jubi dibuat sendiri menggunakan kayu. Masker yang digunakan juga sama dengan masker menyelam dan kacamata renang dibuat sendiri dari kayu. Fins (kaki katak) yang digunakan untuk bajubi di P. Miangas berbeda dengan fins yang biasa kita lihat, bisa dikatakan fins di Pulau  Miangas “Unik” (gambar 1 sebelah kanan). Fins yang digunakan terbuat dari tripleks dan pengait kakinya terbuat dari ban bekas. Tapi jangan salah, kedalaman 15meter dapat dicapai hanya dengan empat kali kayuhan. Senter yang digunakan juga sama dengan senter biasanya.
Pak Piter (kiri) memegang jubi, Pak Kamorahan Hama (tengah) memegang jubi dan senter, saya (kanan) memegang fins
            Bajubi dengan menggunakan kompresor biasanya dilakukan minimal empat orang. Dua orang menunggu di perahu, salah satunya memegang selang dan dua orang yang menyelam. Selang tersebut sebagai pengganti regulator dan orang yang menyelam tidak menggunakan mouthfis tetapi menggigit selang tersebut.

            Teknik yang digunakan dalam bajubi saat menyelam yaitu turun secara vertikal dan setiap kedalaman lima meter berhenti kemudian merayap beberapa meter kemudian turun lagi lima meter dan merayap, begitu seterusnya. Teknik ini digunakan untuk melakukan adaptasi tubuh dan equalisasi. Untuk menghindari efek-efek dari menyelam, setelah bajubi biasanya langsung mendekati api.

            Lokasi bajubi di Pulau Miangas berlawanan dengan arah mata angin. Jika arah mata angin dari selatan maka bajubi dilakukan di bagian utara pulau, begitupun sebaliknya. Hasil tangkapan dari bajubi ini berupa ikan, lobster, dan biasa juga menangkap teripang.
Bapak Kamorahan Hama (kanan) dan Bapak Piter(kiri)
Bajubi di Pulau Miangas sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Bapak Kamorahan Hama (kanan) adalah ahli bajubi di Pulau Miangas. Bajubi sudah dilakukannya selama lebih dari sepuluh tahun. Selain di Miangas, Pak Kamorahan pernah melakukan bajubi di Kota Bitung (Sulut) selama lima tahun.

Bapak yang biasa disapa Papa Hama ini mampu menyelam tanpa tabung hingga kedalaman 15meter selama lima menit dan pernah menyelam dengan kedalaman 100meter di Selat Lembe (perairaan antara Bitung dan Pulau Lembe) menggunakan kompresor. Saat itu, Papa Hama bersama temannya menyelam untuk melepas jangkar kapal. Tetapi, kompresor yang digunakan pecah sebanyak dua kali dan selang yang digunakan putus. Malangnya, teman Papa Hama meninggal karena pembuluh darahnya pecah dan telinga keluar darah. Papa Hama sendiri mengalami dekompresi tetapi bisa diselamatkan karena diturunkan kembali pada kedalaman yang sama.

Selama bertahun-tahun menyelam, Papa Hama belum pernah masuk chamber, malah mendengar istilah chamber belum pernah. Kondisi fisik Papa Hama sendiri gendang telinga sudah pecah dan hidungnya pun begitu.

         Bajubi di Pulau Miangas memang sudah menjadi salah satu mata pencaharian dan orang-orang yang melakukan bajubi sangat ahli. Dibandingkan dengan penyelam teripang di Makassar yang sudah banyak kasus lumpuh akibat menyelam, sampai saat ini di Pulau Miangas belum ada ditemukan kasus lumpuh akibat bajubi.

Monday 19 August 2013

KULIAH 20 SKS (Cerita dari beranda terdepan sebelah utara Indonesia, Pulau Miangas, Sulawesi Utara)

       By: Mayang Sari Takdir (Mahasiswa Ilmu Kelautan 2009)

         Walaupun tujuan perjalanan kami adalah untuk KKN (kuliah kerja Nyata), namun bagi kami bukan sekedar menyelesaikan kuliah 6 sks tersebut tapi juga melihat kondisi pulau-pulau kecil di Sulawesi utara. Berangkat dari tujuan tersebut, kami dari tim10 (julukan bagi kami yang berangkat terlebih dahulu) diberangkatkan dari bandara Hasanuddin TNI AU menggunakan pesawat Hercules menuju bandara Sam Ratulangi di Manado kemudian dilanjutkan ke Bitung tepatnya di KODIM 712 menggunakan truk milik KODIM 712. Setelah menunggu peserta KKN 64 orang lainnya selama 3 hari di Bitung, kami menuju pulau tujuan yaitu pulau Miangas melalui pelabuhan Bitung menggunakan kapal perintis Meliku Nusa. Sebelum menginjakkan kaki di pulau Miangas, terlebih dahulu kami menginjakkan kaki di 6 pulau yaitu pulau Makalehi, Karakitan, Siau, Kawaluso, Tahuna dan Marore. Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari 3 malam akhirnya kami tiba di pulau tujuan pada pukul 07.30 WITA. waktu itu cuaca sangat bersahabat, sehingga kolaborasi warna antara warna biru laut, pasir putih, langit biru, tanjung Wora bertebing coklat-hitam, gunung Kramat yang tinggi berwarna hijau dan jejeran pohon kelapa dibaris terdepan menambah keeksotisan panorama pulau Miangas.

         Pulau Miangas jauh terpisah
Dari kepulauan Indonesia
Satu pulau perbatasan

Itu sungguh…
Tanahku pujaanku
Walaupun sering-sering
Ditimpa bencana alam

Tinggilah harapan Setiap masa
Kepada Tuhan YME
Hidupku aman sentosa
         
          Itu adalah salah satu lagu daerah Miangas yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.Lagu tersebut menggambarkan Miangas sebagai pulau terdepan Indonesia sebelah utara yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Filipina yang konon katanya dulu sering ditimpa bencana alam karena letak geografisnya yang merupakan pertemuan arus.Sedikit gambaran tentang Miangas, pulau yang sangat unik dari segi budaya, adat-istiadat dan alamnya.
          Bagi yang telah menginjakkan kaki di Miangas, adat-istiadat adalah hal yang mutlak dipatuhi bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.Bagi yang pertama kali menginjakkan kaki di Miangas wajib untuk berkunjung ke gunung Kramat, disana terdapat benda peninggalan perang (meriam kecil 4 buah) yang digunakan oleh pahlawan Miangas dalam mempertahankan pulau tersebut.Dari atas gunung Kramat terlihat pemandangan yang sangat eksotis, serasa melihat pulau Miangas melalui satelit dengan perbesaran maksimum.Pulau Miangas yang nampak hijau karena pohon kelapa, cengkeh, pala dan pohon yang lainnya, laut yang biru serta tanjung Wora yang terletak tepat di ujung lengkungan pulau Miangas yang menambah keindahannya. Di Miangas terdapat tanaman pakan yang khas, orang sana menyebutnya Laluga (berupa talas namun besar) dan sagu tanah yang jika tidak diolah dengan baik akan terasa pahit dan menjadi racun. Pohon kelapa yang melimpah membuat warga Miangas tidak bergantung pada minyak produksi luar, pohon pandan berduri memberikan penghasilan tambahan bagi beberapa ibu-ibu rumah tangga yang kreatif mengubahnya menjadi tikar dan topi yang beragam warna yang bisa dijadikan cindera mata dari Miangas.Mayoritas pekerjaan warga Miangas adalah nelayan dengan alat tangkap yang masih sangat sederhana yaitu alat pancing dengan mata kail dalam bahasa Talaud disebut “Gumala”. Perahu yang biasa digunakan untuk melaut hanya dapat menampung maksimal 3 orang yang disebut “Pamboat”, meskipun alat yang digunakan masih sangat sederhana namun hasil tangkapan cukup untuk menghidupi keluarga selama beberapa hari tanpa harus merusak ekosistem laut dengan bom ataupun bius.Selain alat pancing tersebut, nelayan disana juga menggunakan alat penembak ikan yang disebut “Jubi” dan pekerjaan menembak ikan dengan alat tersebut disebut “Bajubi”.Walaupun alat sederhana, tapi tingkat eksploitasi hiu dikategorikan cukup tinggi yang hasilnya diekspor ke Filipina.
       Budaya warga Miangas memang unik, keunikan lainnya yaitu “Manami”.Manami adalah panen ikan dimana ikan-ikan tersebut di dalam jaring yang diletakkan di bawah permukaan air yang biasanya dipanen pada bulan Maret.Tujuan dari Manami sebagai stok persediaan ikan jika nelayan tidak melaut pada bulan agustus-desember karena kondisi cuaca yang melarang nelayan untuk melaut.Biasanya Manami dilaksanakan meriah karena telah menjadi pesta adat.
     Walaupun alat tangkap yang digunakan masih sangat sederhana, tapi kondisi ekosistem terumbu karangnya sangat memprihatinkan.Yang merusaknya bukan karena ledakan bom untuk memungut ikan, tapi merupakan saksi bisu perang perebutan pulau Miangas. Di sebelah tenggara tepatnya di dermaga, gelombang lautnya cukup kuat yang memaksa pemerintah setempat untuk melindungi pantai dengan tanggul (talud: bahasa Talaud)  agar tidak terjadi abrasi. Hutan mangrove disana selain terumbu karang juga tidak bisa lagi memecah gelombang karena letaknya yang terhalangi oleh bangunan rumah dan kantor serta jaraknya dari pantai cukup jauh. Jenisnya hanya dua yaitu Avicennia sp. dan Bruguierasp..walaupun kondisi ekosistemnya memprihatinkan, tetap indah di mata dan di hati. Rindu dengan sapaan:
“pagi papa, mama, oma, opa”
“siang papa, mama, oma, opa”
“malam papa, mama, oma, opa”
“sore papa, mama, oma, opa”
          Bagi pendatang akan merasakan rasa kekeluargaan yang sangat kental dan akan terbiasa dengan sapaan itu. “Brenti Jo Bagate” yang berarti “Berhenti Mabuk-mabukkan” yang terpampang jelas di baligho dekat puskesmas lama menjadi seruan bagi para pencinta “Cap Tikus”  jenis minuman yang memabukkan itu agar berhenti mengkonsumsinya.Masyarakat Miangas mayoritas beragama Kristen protestan dengan satu gereja besar dan satu gereja Pantekosta yang kecil. Agama Islam dibawa oleh para pendatang yang awalnya hanya bekerja sebagai pekerja dermaga dan menikah dengan wanita Miangas sehingga si istri muallaf dan menjadi muslim, hanya ada 4 kepala keluarga muslim dan satu mushallah di Pos Angkatan Laut (POSAL). Pulau perbatasan tersebut diawasi oleh para prajurit terlatih TNI, mulai dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Marinir.
          Di pulau laluga tersebut terdiri dari 12 suku yang dipimpin oleh pemuka adat yang disebut Mangkubumi I dan Mangkubumi II.Mangkubumi I diibaratkan seorang ayah dan Mangkubumi II diibaratkan seorang ibu meskipun sebenarnya Mangkubumi II adalah seorang laki-laki tapi fungsinya layaknya seorang ayah dan ibu yang mengurusi anak-anaknya. Pada hari Rabu/10/07/2013 bapak Mangkubumi II wafat yang artinya semua aktivitas outdoor seperti melaut, berkebun dan kegiatan yang lainnya harus divacumkan selama pemakaman belum selesai.Pemvacuman itu tidak hanya berlaku bagi pemuka adat ataupun pemuka agama yang meninggal, tapi siapapun yang meninggal seluruh aktivitas di luar dihentikan sesaat sebagai wujud menghargai keluarga yang berduka.Jika yang meninggal adalah pemuka adat atau pemuka agama, setelah ibadah di rumah duka dilanjutkan ibadah terakhir di gereja lalu peti mayat dibawa keliling kampung (diarak) agar warga yang tidak sempat mengikuti ibadah dapat mengucapkan selamat tinggal. Berbicara tentang “diarak”, ternyata bukan hanya pemuka adat yang jika meninggal diarak tapi juga bagi yang melanggar norma, baik itu norma agama, adat maupun norma susila. Jika seseorang tertangkap basah melanggar norma, misalnya mencuri maka akan dipukuli lalu diarak keliling kampung sambil menyebutkan kesalahan yang dilakukannya. Begitupun jika seseorang melanggar norma susila, misalnya hubungan gelap (Hugel) maka si pria akan dipukuli lalu keduanya diarak keliling kampung dan mengakui kesalahannya. Hukum adat di pulau Miangas memang masih sangat kental yang membuat masyarakatnya enggan untuk melanggar.
          Setelah kurang lebih sebulan berada di Miangas, tepat pada tanggal 23/07/2013 kami harus meninggalkan pulau miangas dengan menyisahkan banyak kenangan. Setelah meninggalkan pulau Miangas, kami harus melewati 5 pulau lagi yaitu pulau Karatung yang jaraknya dari Miangas 7 jam perjalanan, pulau Geme, Melong, Lirung dan kembali ke pulau Tahuna untuk transit menuju Manado menggunakan kapal Metro Teratai dengan lama perjalanan selama 10 jam. Setelah tiba di Manado, kami dijemput truk tentara milik Yonif 712 dan diantar ke Yonif 712 menginap semalam yang esok harinya ke Bitung untuk menuju Makassar menggunakan kapal Pelni Tilong Kabila. Perjalanan dari Bitung ke Makassar juga butuh 4 hari karena kami harus mengikuti rute pelni yaitu pelabuhan Gorontalo, Luwuk, Kolonedale, Kendari, Raha, Bau-bau dan barulah Port of Makassar pada tanggal 31 Juli 2013.
          Sebulan disana dengan program kerja yang padat, serasa tidak cukup untuk menikmati keindahan pulau Miangas secara utuh dan khusyuk. Tapi kami tidak pesimis, kami selalu berharap dapat kesana kembali, bersua dengan keluarga kecil kami lagi, dan berlayar kembali bersama-sama.
          Thank to Allah SWT karena telah memberikan kami kesehatan dan kesempatan untuk menikmati keindahan Miangas walaupun hanya sebulan, kepada UNHAS karena telah menyelenggarakan KKN di Miangas, juga kepada KODAM VII WIRABUANA atas bantuan dan kerjasamanya, terlebih lagi kapten dan ABK kapal Perintis Meliku Nusa, Metro Teratai dan kapal pelni Tilong Kabila yang tetap sabar mendengar keributan-keributan kecil kami.
Gunung Kramat

Tanjung Wora

Gunung Kramat

Tanjung Wora dari kejauhan

Hutan Mangrove di Miangas

Dermaga Miangas

pantai Racuna (Philipina terlihat jika langit cerah)

Patung Santiago

Surut terendah, menuju Tanjung Wora

salah satu karang batu yang telah menjadi batu karang

Pantai Merra

Merah Putih di Kramat

Merah Putih di Kramat

Miangas dipotret dari puncak Kramat


tanjung Wora



foto bersama Back Packer asal Bandung (Annisa:kiri dan Fiersa Besari:gondrong) dan mahasiswa UNSRAT(baju hijau) di patung Salib raksasa

Tanjung Wora

meninggalkan tanjung Wora

menuju gunung Kramat melewati tanggul (talud:bahasa Talaud)

Mercusuar di gunung Kramat

lapang Volley dekat pantai racuna

tanjung Wora, mengelilingi pulau miangas menggunakan speed boat TNI-AD bersama bapak DANRAMIL

Sunset Marampit

kapal yang mengantar kami dari pulau Tahuna menuju Manado, dengan lama perjalanan 10 jam

kantor pemerintahan Philipina

Sunday 16 June 2013

ISLA dan SEMA-Kelautan UH Boyong Penulis MIWF 2013 ke Delta Lakkang


Ikatan Sarjana Kelautan (ISLA) Unhas mendapat kepercayaan dari Makassar International Writers Festival (MIWF) untuk ketiga kalinya memfasilitasi salah satu event di ajang bergengsi tersebut yaitu “Poetry for Islanders”. Acara ini selain untuk mengamati kehidupan warga pesisir dan pulau-pulau juga untuk menghibur warga dengan membacakan puisi.

Atas nama ISLA Unhas, alumni yang menjadi koordinator pelaksanaan kegiatan ini adalah Muhammad Barak Aziz Malinggi, alumni Kelautan 2004. Pengalamannya di Delta Lakkang, salah satu kelurahan yang terpisah dari daratan Makassar ini menjadikan pertimbangan untuk memandu para penulis asing dan nasional ke sana.

ISLA juga menggandeng Senat Mahasiswa Kelautan Unhas untuk mempersiapkan transportasi ke Lakkang, mengantur tempat pertemuan dan memandu saat observasi ke sekitar Lakkang.

Menurut Lily Yulianti Farid, founder MIWF,  event ini merupakan salah satu bentuk komitmen untuk menghadirkan kegiatan sastra dengan gratis dan dapat diakses semua kalangan. Beberapa penulis yang diundang ke pergelaran MIWF tahun ini adalah Mario F. Lawi, Christian Dicky Senda, Amanche Franck OE Ninu (Kupang, NTT), Muhary Wahyu Nurba, Mariati Atkah (Makassar, Sulsel), dan Jamil Massa (Gorontalo).

Mereka ini bergabung dengan-nama nama besar dari dunia sastra nasional seperti Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Dewi Lestari, Krishna Pabichara, Okky Madasari dan Agustinus Wibowo. Beberapa penulis luar negeri ada pula yaitu Peter Zilahy (Hungaria), Qaisra Shahraz (Inggris/Pakistan), Paul Sochameszki (Amerika Serikat), Luka Lesson, Amir Muhammad (Malaysia), dan Josephine Chia (Singapura). Penulis Australia asal Darwin, Kelly Lee Hickey dan Anna Week.
Sebagian besar dari penulis tersebut berkunjung ke Lakkang pada tanggal 28 Juni 2013 tersebut membaur dengan warga, mengamati kehidupan warga dan berbagi karya sastra dengan mereka. Salah satunya membaca puisi. Berikut foto-fotonya (via Suci Rahmadani Artika, mahasiswa Kelautan Unhas 2011).

Para penulis, ISLA Unhas, Senat Kelautan dan warga Lakkang (foto: Suci RA)

Berkunjung ke tambak (foto: Suci RA)
Mencecap masakan warga Lakkang (foto: Suci RA)

Ms. Hickley saat bacakan puisi di depan warga Lakkang (foto: Suci RA)

Sumber : http://www.isla-unhas.org/isla-boyong-penulis-miwf-2013-ke-delta-lakkang

Friday 10 May 2013

Primordialisme konstruktif

Setiap tahun Universitas Hasanuddin mengadakan seleksi penerimaan mahasiswa baru, tiap saat itu pula takdir mempersatukan beberapa manusia  dalam satu angkatan. Secara teknis, mahasiswa  memiliki ikatan yang lebih erat kepada teman seangkatan jika dibandingkan dengan simpul di luar itu. Karena  bersama orang-orang pertama ini, dalam menyelami dunia baru (kampus) akan meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Intensitas interaksi sesama civitas akademika hampir 100% terjadi bersama teman angkatan.

Tiba saatnya musim Ospek, Pengkaderan atau Bina akrab , simpul tersebut kian erat. Entah mengapa hampir di semua Fakultas/Universitas , jargon senior kepada junior adalah “kekompakan”. Para maba pun disetting agar berpenampakan identik dengan sesama (Jurusan/Fakultas) dan pastinya berbeda dengan yang lain. Kata-kata semisal “Jangko tinggalkan temanmu, kompak ko cilaka” hingga sesuatu yang sedikit ekstrim jadi makanan hari-hari dalam pengumpulan. Bertubi-tubi mendapat “serangan telak” macam itu dalam sebuah kebersamaan adalah sesuatu. Dan sesuatu itu lah yang menyalakan api persatuan di dalam tubuh angkatan. Meski kadang saat api itu semakin besar dan tak terkontrol dapat menghanguskan sekelilingnya. 

Sangat banyak faktor saat kita membicarakan tentang angkatan. Belum lagi saat menyinggung masalah akademik, seperti kesamaan kuliah, tugas serta laporan . Tak ada gading yang tak retak, tak ada pula Coral yang aman dari Desease. Kebersamaan tingkat tinggi dalam simpul angkatan kerap mengkhilafkan kita pada indahnya KEMA secara keseluruhan. Banyak cerita para pendahulu yang mengatakan bahwa “sekat angkatan” akan ada di mana pun itu. Bak fenomena alami, kadang hal ini tenggelam dalam jalannnya roda organisasi. Kalau memang ini adalah sebuah masalah yang didiamkan, itu sama saja dengan menanam bom waktu dalam tubuh KEMA Kelautan. 

Berbagai langkah kerap dipikirkan walau hanya segelintir yang lolos eksekusi. Salah satunya adalah mengisi struktur pengurus lembaga dengan angkatan yang bervariasi. Mulai dari Ketua, Sekretaris hingga bendahara umum. Juga pada divisi/departemen serta unit kegiatan mahasiswa. Setelah melalui beberapa pertimbangan serta rembukan wacana, salah satu jalan keluar dari masalah ini adalah bergaul. Ayolah, Kelautan ini sangat kecil jika hanya bermain di tataran angkatan. Kalau memang ini adalah sebuah masalah, sangatlah bijak jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lain. Dengan sedikit membalikkan logika, Kompaknya mahasiswa Kelautan saat ini dan mungkin juga dahulu itu berangkat dari kebersamaan angkatan. Angkatan diibaratkan sebagai pondasi, jika ia kuat maka kokoh lah bangunan (KEMA) itu.

Muh. Ihsan (Iccank)
Kelautan 09 ; Pengembangan Diri SEMA Kla UH 2012-2013 ;
Humas MSDC UH 2013-2014

Saturday 27 April 2013

Serah Terima Donasi Buku Warga Binaan RUTAN Kelas IIB Kab. Barru


Foto Bersama


Buku adalah jendela dunia, ini mungkin sudah sering sekali di dengar, mungkin dari Sekolah dasar kita sudah dengar itu. Tidak ada, satu buku pun yang pernah ditulis di dunia yang tidak membawa manfaat. Setiap buku akan membawa manfaat kepada kita jika kita mampu menangkap makna dan hikmah. Satu-satunya buku yang tidak membawa manfaat adalah buku yang tidak pernah kita baca. 
 
Berangkat dari pemikiran sederhana di atas Senat mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin bekerja sama Kampung Buku  dan Kedai Buku jenny Sabtu 27 April 2013 menyerahkan donasi buku untuk warga binaan Rumah Tahanan (RUTAN) Kelas IIB Kabupaten Barru. 
 
Puluhan pengurus Senat Mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin dan perwakilan dari kampung Buku di terima langsung oleh Kepala Unit Tahanan RUTAN Kelas IIB Kabupaten Barru, bapak Ridwan SH saat tiba di RUTAN Kelas IIB Kabupaten Barru
 
Penyerahan buku secara simbolis diserahkan Nirwan selaku ketua senat Mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin kepada Kepala Unit Tahanan RUTAN kabupaten Barru di hadapan ratusan warga binaan dan pengawai Rumah Tahanan Kelas IIB kabupaten Barru, saat upacara peringatan hari bakti permasyarakatan.
 
kurang lebih 1000 buku dan majalah dengan jenis koleksi buku keagamaan, lingkungan hidup, mata pelajaran sekolah dan umum. Semuanya ini dibawa langsung kedalam ruangan pendidikan RUTAN untuk dijadikan perpustakaan warga binaan. 
 
Kegiatan yang betema sebarkan ilmu dengan berbagi buku bertujuan untuk  Membudayakan gemar membaca pada warga binaan, Membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi kemudahan kepada warga dalam mencari literature bacaan, dapat tanggap dalam kemajuan pada berbagai lapangan ilmu pengetahuan, kehidupan social dan politik, dapat memelihara kemerdekaan berfikir yang konstruktif untuk menjadi anggota keluarga dan masyarakat yang lebih baik, dapat mengembangkan kemampuan berfikir kreatif, membina rohani dan dapat menggunakan kemempuannya untuk dapat menghargai hasil seni dan budaya manusia, dapat menjadi warga negara yang baik dan dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan nasional dan dalam membina saling pengertian antar bangsa, dapat menggunakan waktu senggang dengan baik yang bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan sosial. Ungkap Abdul Thalib selaku ketua panitia.
 
Jangan selalu berpikir negative kepada masyarakat yang sedang menjalani hukuman di Rumah Tahanan, pungkas thalib.

Sunday 21 April 2013

#EarthDay (Bersih Bawah Laut dan Pantai “LOSARI”)

Tahukah anda bahwa Bumi yang selama ini menjadi tempat makan, tidur, buang air hingga bercinta telah berusia tak muda lagi.  Apa ada yang tahu berapa usianya. Silahkan Tanya pada nenek dari nenek dari  nenek………dst , kalian. Atau pada manusia pertama di muka Bumi, Nabi  Adam AS. 
Hari bumi Internasional yang jatuh pada tanggal 22 April awalnya dicanangkan oleh senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson pada tahun 1970. Selain sebagai politisi, beliau juga merupakan pengajar dalam bidang lingkungan hidup. Sebenarnya banyak hari untuk memperingati pentingnya, hutan, laut,  udara dan lingkungan hidup. Bahkan idealnya 
 adalah setiap hari. Di tengah usia yang kian menua, Bumi bahkan harus memikul beban seluruh makhluk hidup, khususnya manusia.

 
Bayangkan saja berapa pohon yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan kertas kalian, atau jangan Tanya berapa ton ikan tiap harinya tersaji di meja makan kalian. Sekali lagi perut Bumi diaborsi demi perhiasan ibu-ibu pejabat di gedung sana. Lalu apa yang bumi dapat dari kalian. Hanyalah sampah sebagai ucapan terima kasih. (Muh. Ihsan, Kla 09)
Minggu pagi 21 April 2013 puluhan mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin yang tergabung dalam Senat Mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin, Marine Science Diving Club Universitas Hasanuddin, Setapak 22 Kelautan UNHAS dan komunitas Pro Iklim Makassar, melaksanakan kegiatan Bersih Bawah Laut dan Pantai “LOSARI”. 
Kegitan ini dilaksanakan untuk menyambut hari bumi Internasional yang jatuh besok 22 April 2013. Adapun tema yang diusung “Jangan biarkan Laut menjadi Kerajaan Sampah”. 
Para aktivis kelautan ini membersihkan sampah-sampah yang berserakan di permukaan laut  dan dasar laut losari. Banyaknya mahasiswa yang snorkling  dan berenang di perairan pantai losari yang kotor dan air yang nampak hitam sempat menjadi perhatian para pengunjung ikon wisata Kota Makassar.
Sampah-sampah yang berserakan dikumpulkan di atas “gabus”, setelah berisi penuh kemudian di bawah ke anjungan untuk di buang pada tempat sampah. Para aktivis ini sempat kewalahan karena sampah yang ada di permukaan perairan pantai losari yang sangat banyak.
Selain mengangkat sampah yang ada di permukaan laut dan dasar perarian, tim juga membersikan sekitar anjungan pantai bekerja sama dengan petugas kebersihan.
Tim juga melakukan orasi dan membagikan selebaran kepada para pengunjung untuk mengajak kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah ke laut dan tidak menjadikan laut sebagai tempat sampah.
“Kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa laut bukan tempat sampah, karena laut memiliki potensi sumber daya alam yang begitu besar maka kalau banyak sampah di laut tentu saja akan mengganggu kelestarian ekosistem di laut. Adapun tujuan lainnya adalah untuk menambah nilai estetika ikon parawisata Makassar”  tutur Aswin selaku penanggung jawab kegiatan.
Secara terpisah iccank dari Marine Science Diving Club mengatakan selain sampah plastik atau yang bisa di lihat secara kasat mata, masih ada sampah yang lain dan lebih berbahaya untuk ekosistem laut yakni limbah dari penduduk kota yang langsung di buang ke laut. Selamatkan Bumi dengan lestraikan laut karena 78.9% luas bumi ini adalah laut.

do'a bersama sebelum kegiatan (dok. uga)

orasi Iccank (dok. Uga)

foto depan spanduk (dok. uga)

mengumpulkan sampah dari permukaan dan dasar laut (dok. Uga)

Orasi hastuti (dok. Uga)


mengumpulkan sampah dari permukaan dan dasar laut (dok. Uga)

sampah di bawa ke penampungan (dok. uga

foto tim setelah kegiatan (dok. Jun)